Sahabatku,
aku memang dari kampung. Kamu tahu, Nazaret namanya. Itu hanya kampung kecil. Bukan metropolit seperti Yerusalem. Di kampungku tidak banyak pesta besar. Ulang tahun tidak dirayakan secara khusus seperti sekarang ini. Pesta besar diadakan paling-paling kalau ada pernikahan. Itupun tidak selalu pesta besar, tidak sebesar pesta yang kau selenggarakan ini. Hanya orang-orang yang berada saja mampu menyelenggarakan pesta besar. Beruntunglah kamu, dilahirkan di tengah keluarga yang berada. Boleh percaya boleh tidak, aku tahu ada banyak orang kepingin (sampai kadang-kadang memimpikannya) menikmati apa yang kau nikmati. Aku senang, kendati beruntung, kamu tidak sombong dan menjadi tinggi hati.
Kamu ingat, aku pernah hadir dalam pesta pernikahan di Kana (Yoh 2:1-11). Itu salah satu pesta besar yang terjadi tidak jauh dari kampungku. Untuk orang-orang di daerahku, pesta itu memang termasuk besar. Namun rupa-rupanya terjadi salah perencanaan sehingga hidangannya kurang khan. Wah kalau kamu ikut hadir di sana, kamu pasti akan melihat kepanikan kepala pelayan yang harus bertanggungjawab. Anggur adalah hidangan penting untuk pesta-pesta di daerahku. Tamu masih terus berdatangan, sementara anggur hampir habis. Mau beli tambahan di warung terdekat, pasti tidak ada yang menyediakan begitu banyak. Ibu memintaku untuk membereskan situasi itu. Walaupun bukan waktu yang tepat bagiku untuk membuat mukjijat, karena permintaan itu dan karena kekacauan yang akan terjadi bila tidak dibereskan, aku seperti pernah kau dengar mengubah air menjadi anggur yang baik. Aku senang ibu tidak cemas lagi dan pesta dapat berjalan lancar. Nah kawan, bila ada apa-apa terjadi dalam pestamu, asal kau sebut namaku, aku akan datang membantu. Ya, aku akan selalu begitu, bukan hanya pada pesta ini, tapi juga untuk hari-harimu nanti.
Kemudian masih ada beberapa pesta lagi yang kuikuti. Konkrit bagiku, pesta adalah tempat yang paling biasa untuk mengumpulkan orang-orang. Urusanku pertama-tama adalah dengan orang-orang itu, merekalah yang kuperhatikan.
Aku pernah hadir dalam perjamuan yang diselenggarakan seorang pemungut cukai bernama Mateus (Mat 9:9-13). Mateus baru saja kupanggil untuk menjadi muridku. Dia mengundangku makan di rumahnya. Pada saat itulah datang pula para pemungut cukai dan bajingan-bajingan, yang selama ini sudah menjadi temannya. Aku tidak merasa jijik dan enggan untuk makan bersama mereka. Orang-orang Farisi, kaum ulama agama Yahudi, kemudian dengan pedas mengkritik aku. Biarlah. Yang penting menurutku adalah manusianya, bukan nama atau atribut apapun yang menempel padanya. Harga seorang manusia terletak pada pertobatannya, pada keinginannya untuk menjadi baik, persis seperti yang terjadi pada Mateus waktu itu. Oleh karena itu, tanpa berprasangka dan tanpa curiga di rumah Mateus itu aku berbicara dengan para pemungut cukai yang hadir di sana, orang-orang yang gemar memeras rakyat, juga dengan para bajingan. Dari mereka aku juga mengharapkan pertobatan.
Kawanku yang baik, aku senang bila pestamu sekaligus menjadi pesta pertobatan juga. Aku tentu tidak menyamakan kamu dengan Mateus atau para pemungut cukai dan bajingan itu. Tapi kiranya yang terjadi dalam pestamu tidak jauh berbeda. Dengan pestamu itu kamu mau membagi kebahagiaan, karena karunia hidup yang sudah boleh kau terima, karena banyak hari-hari indah yang sudah melukis perjalanan hidupmu, dan karena kini kamu masih boleh menantikan sejuta harapan yang untuk masa depan. Kebahagiaan sebesar itulah yang juga ingin dibagikan Mateus dalam perjamuannya. Dia yang selama ini dianggap masyarakat sebagai orang berdosa, -sehingga lingkungan pergaulannya pun hanya bajingan-bajingan-, tiba-tiba merasa diterima oleh orang lain dan karenanya kemudian ia mempunyai keberanian untuk memulai hidup yang baik, menjadi pengikutku. Apa yang terjadi padanya menarik perhatian teman-temannya. Mereka banyak bertanya kepadaku, apakah orang berdosa masih mempunyai harapan. Kukatakan bahwa kepada siapapun ditawarkan kesempatan untuk bertobat, memulai hidup yang baru. Tidak pernah terlambat untuk memulai. Dan kau tahu kawan, sungguh pesta di rumah Mateus itu menjadi pesta pertobatan. Pesta yang hidangan-hidangannya dilezatkan bukan oleh bumbu-bumbu mahal, tapi oleh harapan akan hidup yang lebih baik sesudahnya.
Pengalamanmu dicintai dan dikaruniai banyak anugerah indah selama hidupmu yang lalu, menjadi alasan bagimu untuk menyelenggarakan pesta. Tapi sekaligus aku juga yakin bahwa rasa syukurmu itu juga disertai oleh pertobatan, karena mungkin banyak kesempatan yang hanya datang sekali saja dalam hidupmu yang lalu, ternyata belum kamu manfaatkan untuk berbuat kebaikan dan untuk mengembangkan hidupmu.
Dalam pesta ini aku hadir dan memberimu harapan. Aku, sahabat dan Tuhanmu, masih mencintaimu dan akan tetap mencintaimu. Aku tetap memanggilmu, dan menginginkan engkau berani membangun hidup yang indah. Hidup yang diwarnai oleh mutiara-mutiara kebaikan, dan mahkota kesetiaan.
Masih mengenai pesta dan pertobatan, aku mempunyai pengalaman lain. Sebenarnya, bukan pesta seperti yang kau bayangkan. Aku diundang makan oleh Simon, seorang Farisi (Luk 7:36-50). Perjamuan makan seperti yang diadakan oleh Mateus. Entah dari mana aku tidak tahu, tiba-tiba datang kepadaku Maria Magdalena, yang namanya sudah sering kudengar. Dia pelacur kelas tinggi, ya semacam wanita panggilan untuk jaman ini. Dengan sangat ia menangis sehingga kakiku basah oleh air matanya. Wanita cantik itu, -dia betul-betul cantik sehingga pantas menjadi pelacur kelas tinggi- bersimpuh menangis di kakiku. Kulihat banyak orang yang ada di rumah itu memandangi dengan keheran-heranan. Aku tahu yang paling tersinggung dan bingung adalah Simon yang mengundangku. Orang-orang Farisi tidak pernah mau bergaul dengan wanita kotor semacam itu, najis. Jangankan rumahnya dimasuki, bertatapan di jalan saja mereka tidak mau. Aku tahu itu, tapi bagiku tetap sama: semua orang mendapat kesempatan yang sama untuk bertobat dan menjadi pengikutku. Maka, kubiarkan saja Maria menangis, mengungkapkan penyesalannya di kakiku.
Maria mengungkapkan pertobatannya dengan tulus hati. Itu yang terpenting bagiku. Tulus. Bisa kamu bayangkan: bersimpuh di kaki, menangis, menyeka tetesan air mata dengan rambut, menciumi kaki, dan meminyakinya dengan parfum yang mahal, adalah tindakan-tindakan yang sangat berarti bagi orang seperti Maria sang pelacur itu. Dia mengungkapkan ketulusan hatinya. Kau tahu khan, pertobatannya itu bukan sandiwara. Dia menjadi pengikutku yang setia sampai akhir.
Bagi Maria, apa yang dilakukan di kakiku adalah pesta pertobatan, yang dihiasi harum-haruman ketulusan hati. Sebaliknya bagi Simon si Farisi. Ia memang mengundangku untuk mengadakan perjamuan. Namun ia tidak sampai berpikir soal pertobatan, atau ketulusan hati. Malah-malah, aku diundangnya mungkin hanya untuk menambah gengsi saja. Maaf aku tidak gr, tapi waktu itu namaku memang sudah tersebar ke mana-mana.
Itulah kawan, yang penting bagiku adalah pertobatan. Dan pertobatan itu bagiku baru konkrit kalau orang mau mewujudkannya secara tulus.
Aku senang rasa syukur sudah mendorongmu untuk menyelenggarakan pesta yang tulus. Kamu ingin mengajak orang lain juga bersyukur atas hidupmu, dan atas hari-hari yang diwarnai kebaikan di masa depan. Percalah niat tulusmu akan berbuah, bagimu sendiri dan bagi orang-orang yang kausapa. Kamu pasti ingat si cebol Zakeus (Luk 19:1-10). Ketika aku bersedia ikut ke rumahnya, ia menyediakan perjamuan untuk kami semua: aku, murid-muridku, dia dan teman-temannya. Kepada semua yang hadir dengan jelas ia menunjukkan pertobatannya: dari seorang pemungut cukai yang memeras rakyat menjadi seorang penderma. Ia dengan tulus menyerahkan harta milik yang selama ini dianggapnya dewa.
Menarik ya, pesta-perjamuan yang pernah kuhadiri, semua membawa kegembiraan dan harapan baru bagi orang yang mau bertobat dengan tulus.
Kawanku yang baik, bagiku tidak soal untuk membuat mukjijat. Beberapa keping roti dan ikan bisa kugandakan untuk makan lima ribu orang (Mat 14:13-21). Aku bisa membuat pesta yang besar tanpa perlu bersusah payah. Banyak mukjijat lain dapat kulakukan untuk menunjukkan keseriusan Bapa dalam memanggil dan berusaha menyelamatkan manusia. Namun kamu tahu, manusia sering tidak mau memahaminya. Manusia sering berlaku seperti orang muda yang kaya (Mat 19:16-26). Dia memenjarakan diri dalam kekayaannya sehingga tidak mempunyai kekuatan lagi untuk mengikutiku. Aku senang karena kamu mau belajar dari pengalaman itu.
Ah maaf kawan, aku malah melantur dengan ceriteraku. Mestinya kamu sekarang ini sedang sibuk karena harus menemui banyak orang. Ya, mereka harus ditemui. Mereka adalah orang-orang yang mendukungmu. Dalam pesta ini mereka datang untuk mengungkapkan dukungan itu, mereka masih bersamamu. Dengan begitu kamu tidak perlu mencemaskan masa depanmu. Kamu didukung banyak orang. Berterima kasihlah kepada mereka.
Aku hadir di tengah-tengah pestamu pertama-tama untuk menemuimu, dan orang-orang yang hadir dalam pestamu. Aku menjabat erat tanganmu. Aku turut bersyukur atas kehadiranmu di muka bumi ini. Sungguh hanya satu sahabatku yang sepertimu, yang lahir sekian tahun lalu. Hanya satu kamu dengan segala ciri khasmu. Hanya satu kamu pula yang dengan tekun mengikutiku. Bila engkau tidak lahir, aku tidak memiliki sahabat yang seperti kamu.
Selamat berulang tahun sahabatku. Nantikanlah hari-hari yang penuh harapan. Aku akan tetap menyertaimu apapun yang akan terjadi padamu kini, nanti, dan selama-lamanya.
Oktober, 1995
aku
Yesusmu
Sahabatku,
aku memang dari kampung. Kamu tahu, Nazaret namanya. Itu hanya kampung kecil. Bukan metropolit seperti Yerusalem. Di kampungku tidak banyak pesta besar. Ulang tahun tidak dirayakan secara khusus seperti sekarang ini. Pesta besar diadakan paling-paling kalau ada pernikahan. Itupun tidak selalu pesta besar, tidak sebesar pesta yang kau selenggarakan ini. Hanya orang-orang yang berada saja mampu menyelenggarakan pesta besar. Beruntunglah kamu, dilahirkan di tengah keluarga yang berada. Boleh percaya boleh tidak, aku tahu ada banyak orang kepingin (sampai kadang-kadang memimpikannya) menikmati apa yang kau nikmati. Aku senang, kendati beruntung, kamu tidak sombong dan menjadi tinggi hati.
Kamu ingat, aku pernah hadir dalam pesta pernikahan di Kana (Yoh 2:1-11). Itu salah satu pesta besar yang terjadi tidak jauh dari kampungku. Untuk orang-orang di daerahku, pesta itu memang termasuk besar. Namun rupa-rupanya terjadi salah perencanaan sehingga hidangannya kurang khan. Wah kalau kamu ikut hadir di sana, kamu pasti akan melihat kepanikan kepala pelayan yang harus bertanggungjawab. Anggur adalah hidangan penting untuk pesta-pesta di daerahku. Tamu masih terus berdatangan, sementara anggur hampir habis. Mau beli tambahan di warung terdekat, pasti tidak ada yang menyediakan begitu banyak. Ibu memintaku untuk membereskan situasi itu. Walaupun bukan waktu yang tepat bagiku untuk membuat mukjijat, karena permintaan itu dan karena kekacauan yang akan terjadi bila tidak dibereskan, aku seperti pernah kau dengar mengubah air menjadi anggur yang baik. Aku senang ibu tidak cemas lagi dan pesta dapat berjalan lancar. Nah kawan, bila ada apa-apa terjadi dalam pestamu, asal kau sebut namaku, aku akan datang membantu. Ya, aku akan selalu begitu, bukan hanya pada pesta ini, tapi juga untuk hari-harimu nanti.
Kemudian masih ada beberapa pesta lagi yang kuikuti. Konkrit bagiku, pesta adalah tempat yang paling biasa untuk mengumpulkan orang-orang. Urusanku pertama-tama adalah dengan orang-orang itu, merekalah yang kuperhatikan.
Aku pernah hadir dalam perjamuan yang diselenggarakan seorang pemungut cukai bernama Mateus (Mat 9:9-13). Mateus baru saja kupanggil untuk menjadi muridku. Dia mengundangku makan di rumahnya. Pada saat itulah datang pula para pemungut cukai dan bajingan-bajingan, yang selama ini sudah menjadi temannya. Aku tidak merasa jijik dan enggan untuk makan bersama mereka. Orang-orang Farisi, kaum ulama agama Yahudi, kemudian dengan pedas mengkritik aku. Biarlah. Yang penting menurutku adalah manusianya, bukan nama atau atribut apapun yang menempel padanya. Harga seorang manusia terletak pada pertobatannya, pada keinginannya untuk menjadi baik, persis seperti yang terjadi pada Mateus waktu itu. Oleh karena itu, tanpa berprasangka dan tanpa curiga di rumah Mateus itu aku berbicara dengan para pemungut cukai yang hadir di sana, orang-orang yang gemar memeras rakyat, juga dengan para bajingan. Dari mereka aku juga mengharapkan pertobatan.
Kawanku yang baik, aku senang bila pestamu sekaligus menjadi pesta pertobatan juga. Aku tentu tidak menyamakan kamu dengan Mateus atau para pemungut cukai dan bajingan itu. Tapi kiranya yang terjadi dalam pestamu tidak jauh berbeda. Dengan pestamu itu kamu mau membagi kebahagiaan, karena karunia hidup yang sudah boleh kau terima, karena banyak hari-hari indah yang sudah melukis perjalanan hidupmu, dan karena kini kamu masih boleh menantikan sejuta harapan yang untuk masa depan. Kebahagiaan sebesar itulah yang juga ingin dibagikan Mateus dalam perjamuannya. Dia yang selama ini dianggap masyarakat sebagai orang berdosa, -sehingga lingkungan pergaulannya pun hanya bajingan-bajingan-, tiba-tiba merasa diterima oleh orang lain dan karenanya kemudian ia mempunyai keberanian untuk memulai hidup yang baik, menjadi pengikutku. Apa yang terjadi padanya menarik perhatian teman-temannya. Mereka banyak bertanya kepadaku, apakah orang berdosa masih mempunyai harapan. Kukatakan bahwa kepada siapapun ditawarkan kesempatan untuk bertobat, memulai hidup yang baru. Tidak pernah terlambat untuk memulai. Dan kau tahu kawan, sungguh pesta di rumah Mateus itu menjadi pesta pertobatan. Pesta yang hidangan-hidangannya dilezatkan bukan oleh bumbu-bumbu mahal, tapi oleh harapan akan hidup yang lebih baik sesudahnya.
Pengalamanmu dicintai dan dikaruniai banyak anugerah indah selama hidupmu yang lalu, menjadi alasan bagimu untuk menyelenggarakan pesta. Tapi sekaligus aku juga yakin bahwa rasa syukurmu itu juga disertai oleh pertobatan, karena mungkin banyak kesempatan yang hanya datang sekali saja dalam hidupmu yang lalu, ternyata belum kamu manfaatkan untuk berbuat kebaikan dan untuk mengembangkan hidupmu.
Dalam pesta ini aku hadir dan memberimu harapan. Aku, sahabat dan Tuhanmu, masih mencintaimu dan akan tetap mencintaimu. Aku tetap memanggilmu, dan menginginkan engkau berani membangun hidup yang indah. Hidup yang diwarnai oleh mutiara-mutiara kebaikan, dan mahkota kesetiaan.
Masih mengenai pesta dan pertobatan, aku mempunyai pengalaman lain. Sebenarnya, bukan pesta seperti yang kau bayangkan. Aku diundang makan oleh Simon, seorang Farisi (Luk 7:36-50). Perjamuan makan seperti yang diadakan oleh Mateus. Entah dari mana aku tidak tahu, tiba-tiba datang kepadaku Maria Magdalena, yang namanya sudah sering kudengar. Dia pelacur kelas tinggi, ya semacam wanita panggilan untuk jaman ini. Dengan sangat ia menangis sehingga kakiku basah oleh air matanya. Wanita cantik itu, -dia betul-betul cantik sehingga pantas menjadi pelacur kelas tinggi- bersimpuh menangis di kakiku. Kulihat banyak orang yang ada di rumah itu memandangi dengan keheran-heranan. Aku tahu yang paling tersinggung dan bingung adalah Simon yang mengundangku. Orang-orang Farisi tidak pernah mau bergaul dengan wanita kotor semacam itu, najis. Jangankan rumahnya dimasuki, bertatapan di jalan saja mereka tidak mau. Aku tahu itu, tapi bagiku tetap sama: semua orang mendapat kesempatan yang sama untuk bertobat dan menjadi pengikutku. Maka, kubiarkan saja Maria menangis, mengungkapkan penyesalannya di kakiku.
Maria mengungkapkan pertobatannya dengan tulus hati. Itu yang terpenting bagiku. Tulus. Bisa kamu bayangkan: bersimpuh di kaki, menangis, menyeka tetesan air mata dengan rambut, menciumi kaki, dan meminyakinya dengan parfum yang mahal, adalah tindakan-tindakan yang sangat berarti bagi orang seperti Maria sang pelacur itu. Dia mengungkapkan ketulusan hatinya. Kau tahu khan, pertobatannya itu bukan sandiwara. Dia menjadi pengikutku yang setia sampai akhir.
Bagi Maria, apa yang dilakukan di kakiku adalah pesta pertobatan, yang dihiasi harum-haruman ketulusan hati. Sebaliknya bagi Simon si Farisi. Ia memang mengundangku untuk mengadakan perjamuan. Namun ia tidak sampai berpikir soal pertobatan, atau ketulusan hati. Malah-malah, aku diundangnya mungkin hanya untuk menambah gengsi saja. Maaf aku tidak gr, tapi waktu itu namaku memang sudah tersebar ke mana-mana.
Itulah kawan, yang penting bagiku adalah pertobatan. Dan pertobatan itu bagiku baru konkrit kalau orang mau mewujudkannya secara tulus.
Aku senang rasa syukur sudah mendorongmu untuk menyelenggarakan pesta yang tulus. Kamu ingin mengajak orang lain juga bersyukur atas hidupmu, dan atas hari-hari yang diwarnai kebaikan di masa depan. Percalah niat tulusmu akan berbuah, bagimu sendiri dan bagi orang-orang yang kausapa. Kamu pasti ingat si cebol Zakeus (Luk 19:1-10). Ketika aku bersedia ikut ke rumahnya, ia menyediakan perjamuan untuk kami semua: aku, murid-muridku, dia dan teman-temannya. Kepada semua yang hadir dengan jelas ia menunjukkan pertobatannya: dari seorang pemungut cukai yang memeras rakyat menjadi seorang penderma. Ia dengan tulus menyerahkan harta milik yang selama ini dianggapnya dewa.
Menarik ya, pesta-perjamuan yang pernah kuhadiri, semua membawa kegembiraan dan harapan baru bagi orang yang mau bertobat dengan tulus.
Kawanku yang baik, bagiku tidak soal untuk membuat mukjijat. Beberapa keping roti dan ikan bisa kugandakan untuk makan lima ribu orang (Mat 14:13-21). Aku bisa membuat pesta yang besar tanpa perlu bersusah payah. Banyak mukjijat lain dapat kulakukan untuk menunjukkan keseriusan Bapa dalam memanggil dan berusaha menyelamatkan manusia. Namun kamu tahu, manusia sering tidak mau memahaminya. Manusia sering berlaku seperti orang muda yang kaya (Mat 19:16-26). Dia memenjarakan diri dalam kekayaannya sehingga tidak mempunyai kekuatan lagi untuk mengikutiku. Aku senang karena kamu mau belajar dari pengalaman itu.
Ah maaf kawan, aku malah melantur dengan ceriteraku. Mestinya kamu sekarang ini sedang sibuk karena harus menemui banyak orang. Ya, mereka harus ditemui. Mereka adalah orang-orang yang mendukungmu. Dalam pesta ini mereka datang untuk mengungkapkan dukungan itu, mereka masih bersamamu. Dengan begitu kamu tidak perlu mencemaskan masa depanmu. Kamu didukung banyak orang. Berterima kasihlah kepada mereka.
Aku hadir di tengah-tengah pestamu pertama-tama untuk menemuimu, dan orang-orang yang hadir dalam pestamu. Aku menjabat erat tanganmu. Aku turut bersyukur atas kehadiranmu di muka bumi ini. Sungguh hanya satu sahabatku yang sepertimu, yang lahir sekian tahun lalu. Hanya satu kamu dengan segala ciri khasmu. Hanya satu kamu pula yang dengan tekun mengikutiku. Bila engkau tidak lahir, aku tidak memiliki sahabat yang seperti kamu.
Selamat berulang tahun sahabatku. Nantikanlah hari-hari yang penuh harapan. Aku akan tetap menyertaimu apapun yang akan terjadi padamu kini, nanti, dan selama-lamanya.
Oktober, 1995
aku
Yesusmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar